Kota sebagai [kota] Penelitian


Berbicara mengenai penulisan ‘sejarah kota’ mungkin tidak akan pernah habis jika sipenulis tidak membatasi apa yang akan dibahas didalam tulisannya. Kenapa tidak? Karena kota sangat luas dan heterogen. Ada banyak hal yang dapat diteliti dari sebuah kota. Gino Germani menyebutkan bahwa ‘heterogenitas penduduk kota sangat tinggi karena kebutuhan masyrakat sangat kompleks otomatis diperlukan spesialisasi-spesialisasi.’ Artinya, Heterogenitas ini menyumbangkan keberagaman kebutuhan masyarakat, keberagaman kebutuhan ini menghasilkan keberagaman spesialisasi produksi masyarakat dalam kota. Seperti; infrastruktur, gaya hidup, kriminalitas, tehnologi, wisata, pendidikan, politik, ekonomi, industry, pemerintahan sampai dengan kriminalitas, kemiskinan dll masih banyak lagi. Hampir semua kebutuhan manusia ada di kota. Masyarakat berbondong-bondong kekota. Masyarakat Indonesia memandang kota sebagai tambang emas. Sehingga cerita mengenai problema social ada di kota. Oleh sebab itu, saya mengatakan bahwa kota sebagai kota penelitian bagi sejarawan. Tema kota tidak akan pernah habis untuk dikaji, baik sejarah mikronya maupun sejarah makronya, baik cerita para elit maupun cerita orang kebanyakan. Karena Kota begitu luas untuk dikaji. Maka tidak heran jika dewasa ini, studi mengenai sejarah kota telah banyak menarik minat para sejarawan. Dengan kata lain “Kota sebagai [kota] penelitian”, semua ada di kota. Kota menjadi pusat penelitian baik penelitian  mikro maupun makro. Oleh karena itu saya menggambarkan [kota] sebagai pusat penelitian.
Ada banyak hal yang membuat seorang sejarawan menulis kisah sebuah kota salah seperti kecintaan kepada kota kelahirannya, kesedihan terhap kemunduran kotanya, merasa memiliki kota tersebut. Biasanya seseorang menulis kerena merasa ada hal yang ingin diceritakan kepada orang lain tentang apa yang mengganjal perasaanya. Begitu juga dengan kedua sejarawan berikut ini; Reiza D. Dienaputra dan N. Kartika. Mereka sama-sama menulis buku dengan tema sejarah kota.  Luasnya penelitian dalam kota ini sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk membatasi tulisannya supaya tidak melebar. Tetapi focus kepada satu permasalahan dengan tujuan supaya kajian lebih dalam detail. Batasan ini sering disebut sejarawan sebagai konsep dan metode. Konsep dan metode akan menuntun tulisan dari awal hingga ahir. Ibarat tembok. Semen dan cat adalah baju yang melapisi bata yang bergerigi. Setelah disemen dan dicat. Susunan bata (kalimat) tadi menjadi rapi sampai ahir. Seperti dua contoh sejarah kota barikut ini: pertama sebuah buku karangan Reiza D. Dienaputra (dosen Unpad) yang berjudul Antara PRIANGAN dan BUITENZORG, Sejarah Cikal Bakal Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942. Terbitan Prolitera, Bandung.  Kedua buku karangan N. Kartika (dosen Unpad) yang berjudul Sejarah Majalengka terbitan Uvula Press, Jatinangor.
Didalam bukunya Antara PRIANGAN dan BUITENZORG, Sejarah Cikal Bakal Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942, Reiza D. Dienaputra meneliti tentang perubahan sosial di Cianjur. Layaknya dengan sejarawan pada umumnya, Reiza D. D juga mencoba membahas mengenai perubahan-perubahan nyang terjadi di Cianjur mulai pada tahun 1677-1942. Perubahan-perubahan ini dilihat dari beberapa fase dan dilihat dari beberapa pendekatan (metodologi) seperti pendekatan sosial, ekonomi, dan politik. Fase (1) jatuhnya Priangan oleh Mataram kepada VOC (1677-1816). Pada masa ini dijelaskan gambaran umum masyarakat Cianjur baik dari sudut wilayah, demografi maupun politik. Sehingga terlihat jelaslah bahwa ada perubahan yang terjadi ketika Priangan di kuasai oleh Mataram dan ketika Priangan dikuasai oleh VOC. Ada hal-hal yang berubah baik dalam hal perekonomian, sistem sosial, maupun politk.  Selain itu, pada masa ini Cianjur resmi menjadi bagian dari VOC (traktat 19-20 Oktober 1677)  Fase (2) Priangan jatuh ke tangan Hindia Belanda (1816-1900). Pada  masa ini, kongsi dagang Belanda yang disebut VOC itu sudah tumbang, nampun diambil alih oleh Hindia-Belanda. Yang semula VOC hanya menitikberatkan kepada berdagang, namun setelah Hindia Belanda Mulai berkuasa, hasrat ingin menguasai, mengeksploitasi untuk memajukan Negara kincir angin itu mulai dilakukan. Penindasan dimulai, system kerja paksa pun marak dimana-mana. fase (3) zaman pergerakan (1900-1942). Pada masa ini pendidikan pribumi sudah mendapat perhatian, pribumi mulai ikut mengenyam hasil politik etis Belanda. Politik etis ini dikembangkan dengan baik oleh pribumi, kemudian berbalik menentang Belanda. Pada zaman ini, semangat nasionalisme mulai muncul melalui pendidikan yang membuahkan kemerdekaan suatu bangsa.
Perubahan-perubahan dapat dilihat secara detail ketika penelitian ditunjang oleh suatu pendekatan (metodologi) yang tepat. Pada bagian ini, Reiza D.D menggunakan pendekatan Sosial ekonomi, social politik yang dibuktikan dengan data-data kuantitatif untuk dapat melihat perubahan sosial yang terjadi didalam masyarakat Cianjur dari tahun-ketahun.
Buku karya N. Kartika ini Sejarah Majalengka terbitan Uvula Press ini menceritakan tentang proses pembentukan kabupaten Majalengka dan alasan-alasan pemilihan Majalengka sebagai Ibukota Kabupaten. Pembentukan kabupaten Maja (staatsblad 1819 no. 9) oleh kolonial menjadikan Maja menjadi sebuah kabupaten dengan ibu kota pertamanya Sindangkasih. Namu kemudian pada tahun 1840, Maja berubah menjadi Majalengka (staatsblad 1840 no. 7). Perpindahan ibukota dari Sindangkasih menjadi Majalengka. Majalegka dianggab lebih strategis dibanding dengan daerah-daerah lain di keresidenan Cirebon, ketersediaan fasilitas seperti tempat tinggal asisten residen yang dapat mengawasi jalannya pemerintahan secara langsung. Hal tersebut memudahkan unrusan administrasi.
 Perubahan ini tentunya berdampak pada kehidupan sosial ekonomi, politik, pendidikan, dan kebudayaan. Pada saat dibentuknya undang-undang desentralisasi (decentralisatie wet) pada 1903, Pembentukan undang-undang ini bertujuan untuk membuka kemungkinan adanya gemeenschappen, yaitu daerah yang berpemerintahan dan mengurus rumah tangga sendiri (memiliki hak otonomi) dalam lingkungan pemerintahan Hindia Belanda. Ketika sebagai kabupaten dan sebagai ibukota, Majalengka tentu saja mengalami perubahan seperti perubahan fisik kota dengan adanya pembangunan sebagai sarana kehidupan seperti transportasi darat. Kereta api yang menghubungkan Cirebon dengan Kadipaten Majalengka yang bermanfaat untuk mengatasi masalah kelancaran distribusi hasil perkebunan. Kondisi masyarakat pada saat itu masih sangat sulit, tidak semuanya petani mempunyai tanah pertanian, olek karena itu banyak diantatra mereka yang memilih untuk menjadi buruh di pabrik genteng, pabrik garam. Namun ini meruupakan perkembangan yang cukup baik di sektor ekonomi dimana masyarakat tidak hanya bergantung kepada pertanian, tetapi sudah beralih kepada perdangangan. Ini artinya masyarakat sudah lebih mengenal sistem uang.


Kesimpulan
Didalam  buku “sejarah local di Indonesia”, editor: Taufik Abdullah, terbitan UGM menyebutkan bahwa secara garis besar, ada empat corak studi sejarah local di Indonesia. (1) studi yang difokuskan pada suatu peristiwa tertentu (peristiwa khusus atau yang sering disebut dengan evenemental l’evenement), (2) studi yang lebih menekankan pada struktur, (3) studi yang mengambil perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu dalam (studi tematis)  (4) studi sejarah umum, yang menguraikan perkembangan daerah tertentu (propinsi, kota, kabupaten) dari masa ke masa. Menurut saya kedua buku karangan Reiza Dienaputra dan N. Kartika ini termasuk kedalam corak ketiga dan keempat. Dimana pada corak ketiga dikatakan bahwa studi yang mengambil perkembangan suatu aspek dalam kurun waktu tertentu. Benar sekali kedua buku ini membahas mengenai perkembangan aspek dikarenakan adanya perubahan yang terjadi pada sistem pemerintahan dan politik dilingkungan masyarakat pada abad 17 sampai dengan awal abad 20. Pada corak ke empat dijelaskan bahwa kita melihat perkembangan kota dengan menuturkan sejarah kota tersebut dari masa ke masa. Saa dengan kedua contoh ini. mereka menceritakan cikal-bakal suatu kota, proses pembentukan suatu kota. Sehingga terlihatlah dengan jelas bahwa ada sesuatru yang berubah dalam masyarakat dengan dibentuknya kota. Jadi, saya menyimpulkan bahwa kedua sejarawan Unpad ini melihat perkembangan suatu kota atau melihat perubahan kota dengan menguraikan perkembangan daerah (provinsi, kota, kabupaten), kemudian terlihatlah perobahan-perubahan yang disebabkan oleh aspek-aspek yang saling mendukung didalam kota.
Jadi, banyaknya tulisan-tulisan bertemakan sejarah kota, dikarenakan semakin banyaknya metode, pendekatan baru untuk meneliti dan mendekati sejarah. Sejarah bukan lagi hanya milik politikus lagi, sejarah bukan lagi hanya milik penguasa untuk kepentingan kekuasaan, tetapi sejarah milik semua orang, semua orang bebas unutk menulis sejarahnya. Begitu juga dengan tema kota. Ada banyak hal yang dapat diteliti baik kehidupan masyarakat kecil yang picu oleh perkembangan suatu kota. Hal ini untuk melengkapi sejarah lokal di Indonesia, sejarah lokal ditulis untuk melengkapi sejarah nasional.

Comments

  1. mantaps,,, makasih Mba.. bisa pinjem buku tentang majalengka hhee adimpiero3@gmail.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts