Subjektivitas dalam Kajian Sejarah Lisan

Berbicara soal sejarah lisan di Indonesia mengingatkan penulis kepada seoarang penulis sejarah lisan pada zaman ini. Reiza Diena Putra dalam bukunya Sejarah lisan “Konsep dan Metode” menyimpulkan bahwa sejarah lisan adalah pengalaman kolektif oleh masyarakat yang mengalami, merasakan, menyaksikan peristiwa masa lalu. pengalaman itu masih tersimpan didalam memori atau ingatan para saksi. Karena masih tersimpan rapi didalam memori atau ingatan manusia maka diperlukan suatu cara atau metode supaya dapat mengeluarkan sejarah dari ingatan atau memori pengkisah. Masih didalam buku Rieza Diena Putra, dalam metode sejarah lisan[1] Ada tiga tahapan kerja didalam metode sejarah lisan, yang pertama adalah tahap persiapan. yang kedua, tahapan pelaksanaan, tahap yang ketiga adalah pembuatan indeks dan transkripsi. Masing-masing tahap ini mempunyai cara kerja masing-masing. Kesimpulannya sejarawab harus melakukan wawancara dengan mereka yang mempunyai ingatan tentang suatu peristiwa yang dimaksudkan oleh pewawancara.
Dalam tulisan John Roosa dan Ayu Ratih dalam “Perspektif baru dalam Penulisan Sejarah Indonesia” menyebutkan bahwa dalam melakukan sejarah lisan tidak sesederhana yang disebutkan oleh Reiza Diena Putra dalam bukunya yaitu mengenai konsep dan metode sejarah lisan. Namun, ada hal tambahan yang lebih penting dari pada itu yaitu “cara melakukan penelitian yang menuntut peneliti untuk melibatkan diri terus menerus dengan filsafat subjektivitas”. Artinya pewawancara harus sedikit meninggalkan empirismenya dan memulai membangun sebuah hubungan yang erat dengan respondennya supaya pewawancara dapat menyatu dengan peristiwa masa lalu responden atau pengkisah, sehingga pewawancara dapat membagikannya kepada pembaca dalam porsi yang pas. Dalam hal ini, penwawancara adalah pendengar yang baik, antusias dan emosional, namun harus tetap dapat menjaga posisinya sebagai hakim. Terkadang pewawancara lupa akan posisinya yang sangat begitu unik itu. Sejarawan yang juga pewawancara dapat menempatkan dirinya sebagai hakim yang harus memutuskan bersalah atau tidak, sebagai investigator yang tidak memihak dan sebagai jaksa yang mendatangkan saksi-saksi yang lain. Karena terlalu unik itu, sejarawan sebagai pewawancara lupa posisinya dan terjebak dalam subjektifitas yang berlebihan. Subjektifitas yang berlebihan mengakibatkan historiografi yang berat sebelah seperti historiografi yang ada pada era Soeharto. Pada era Soeharto historiografi sejarah seolah olah ditujukan untuk keberlangsungan penguasa. Oleh karena itu Subjektivitas harus dibatasi.
John Roosa dan Ayu Ratih menyebutkan sejarah lisan di Indonesia akan berhasil jika sejarawan mengerti posisinya sebagai pewawancara dan mengetahui porsi yang pas dalam subjektivitas. Misalnya dalam hal empati dan kritis. Empati digunakan untuk membangun suatu hubungan yang baik antara pewawancara, pengkisan dan cerita yang dikisahkan. Sedangkan sikap kritis digunakan untuk tetap membatasi antara sifat obektif dan subjektif.
Kesimpulan
Pengertian  sejarah lisan yang ditawarkan oleh Reiza D. Dienaputra dan Louis Gotchalk bersifat objektif. Karena objektivitas itu historiografi haruslah empiris. Namun John Roosa dan Ayu Ratih menawarkan sudut pandangan lain yaitu Subjektivitas yang menempatkan sejarawan harus bersifat netral karena tugas sejarawan harus menulis sejarah sesuai dengan apa yang benar dan penting menurut perasaannya, bahkan ketika pertimbangan ini bertentangan dengan keinginan yang diwawancarainya. Menurut John Roosa dan Ayu Ratih objektivitas itu mempengaruhi hubungan antara pewawancara dan yang diwawancarai sehingga mengakibatkan kegagalan dalam proses pewawancaraan. Oleh karena itu sikap subjektivitas berupa empati harus ada dalam diri pewawancara supaya konsep Freud sperti Working through, acting out dan transference dapat terlaksana.


[1] metode sejarah lisan menurut Jose Rizal Chaniago (1988) mengatakan bahwa tehnik pengumpulan data melalui wawancara yang direkam oleh seseorang pewawancara dengan seorang pengkisah yang bercerita tentang  apa-apa yang dialami, dirasakan, bahkan yang mugkin dipikirkanya ketika peristiwa sejarah tersebut terjadi. Metode sejarah lisan menurut Willy K. Baum (1982) : usaha merekam kenangan yang dapat disampaikan oleh pembicara sebagai pengetahuan tangan pertama.

Comments

Popular Posts