salah satu Buku yang membahas "Isu Gender"


 Judul Buku: Nyai Dasima
Penulis : S.M. Ardan
Penerbit : Masup Jakarta (2007)

Persejarahan Indonesia sangat jarang membahas tentang isu-isu gender. Jika dilihat dari pembabakan sejarah Indonesia yang dipaparkan oleh Nina Lubis dalam bukunya, pembabankan zaman antara lain zaman tradisional, kolonial, pergerakan dan modern. Dalam hal ini setiap zamannya mempunyai sifat dan tema penulisannya masing-masing dalam cerita sejarah. Tidak hanya menyangkut isu gender, persoalan anak-anak kecil, remaja pun hampir luput dari pandangan sejarawan. Tema-tema sejarah konvensional sangat lama menjadi bagian dari sejarah, mulai dari tema perang, kepahlawanan, kota, kerajaan-kerajaan, pemberontakan semuanya adalah tema-tema sejarah yang besar. Tema-tema sejarah kecil atau mikro menjadi luput dari pandangan sejarawan. Hingga pada saat Sartono Kartodirjo menuliskan bukunya yang berjudul “Pemberontakan Petani Banten pada tahun 1888” dan berhasil menjelaskannya dalam konsep perubahan social. Kemudian semakin berkembanglah penulisan sejarah Indonesia semakin lama semakin beragam. Seperti halnya cerita Nyai Dasima ini, berbeda dengan cerita-cerita sejarah yang lain, ia lebh focus kepada persoalan gender.
Cerita ini sudah diterbitkan oleh beberapa kali dan diterjemahkan kedalam beberapa bahasa pada zamannya. Buku ini pernah ditulis oleh dua orang berbeda. G. Francis , yang pernah menjadi redaktur surat kabar besar pada abad ke-19. Dalam Tjerita Njai Dasima yang diterbitkan pada 1896  kemudian ditulis ulang oleh S.M Ardan, seniman dan budayawan Betawi pada pada tahun 2007. Kedua penulis ini mempunyai versinya masing-masing. Jika G. Francis menyebutkan Nyai Dasima adalah seorang perempuan jahat dan licik maka S.M. Ardan mengatakan sebaliknya, baik dan bijak. Interpretasi ulang ini sekaligus kritik S.M. Ardan terhadap cara Francis yang menggambarkan sosok masyarakat Betawi penganut Islam yang suka bikin persekongkolan jahat dan penganut ilmu hitam.
Buku ini menceritakan tentang seorang Nyai Dasima yang berasal dari Desa Ciseeng, Parung, Bogor. Nyai ini adalah istri piaraan tanpa nikah tuan Edward W, seorang Inggris yang tinggal di Kwitang dulu pada awal abad 19. Nyai ini akhirnya mati dibunuh oleh Bang Puase, jagoan dari Kwitang atas suruhan istri tua Samiun, Hayati. Sedangkan Samiun adalah Suami sah dari Nyai dasima. Menurut Ardan, Dasima datang ke Samiun atas kesadaran sendiri ingin lepas dari orang asing sedangkan menurut versi kolonial menjadi istri Samiun karena diguna-guna melalui seorang ulama Wak Lihun. Kemudian Mayatnya dilemparkan ke kali (kira-kira samping toko buku Gunung Agung sekarng) dan ditemukan di dekat kediaman tuan Edward W di Pejambon, di belakang kantor Ditjen Perhubungan Laut sekarang ini.
Persoalan gender dalam buku ini sangat terlihat jelas, dimana seoarng pria Inggris dengan mudahnya mendapat seorang wanita cantik, dan siap untuk mempergundik (isteri piaraan). Pada zaman itu, wanita pribumi sangat dipandang rendah oleh pria Eropa. Mereka hanya dipandang sebagai pembantu rumah tangga dan pemuas hawa nafsu. Perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki sangat terasa pada masa pemerintahan colonial, dimana pada saat itu para pekerja colonial datng ke Nusantara tidak dengan membawa istri. Karena keterbatasan alat transportasi pada saa itu. Alhasil banyak para pria Eropa yang bekerja di Nusantara yang mencari wanita pribumi unutk dijadikan sebagai pembantu rumah tangga sekaligus sebagai pemuas hawa nafsu belaka. Pria pria Eropa ini bebas memilih wanita mana yang hendak ia pergundik. Namun nasib wanita gundik ini sangat memprihatinkan dimana strata sosial mereka samasekali tidak dianggap, ketika wanita-wanita ini tidak diperkenankan mempunyai budaya dan kultur yang sama dengan pria Eropa terutama jika ia pria Belanda. Dan jika pergundikan tersebut mengasilkan anak, anak itu tidak akan dianggap oleh pihak laki-laki dan tidak diakui oleh keluarga wanita. Begitu juga dengan Nyai Dasima ini, walaupun pada saat itu Nyai Dasima diperistri oleh Tuan Edward oleh karena kecantikkannya se-Batavia tiada tanding, namun dilain pihak nyai Dasima selalu dilecehkan oleh masyarakat pribumi dan keluargannya. Dan tidak diterima oleh pihak keluarga laki-laki (Edward), terlihat ketika Edward hendak pulang ke Inggris namun ia tidak ikut membawa pulang sang anak (Nancy) dan istri. Pernikahan lintas budaya ini telah menghadirkan konflik lintas budaya. Ada budaya superior dan inferior terhadap wanita pribumi. Wanita pribumi tidak pernah dianggab sebagai ciptaan Tuhan yang sama mulianya dengan laki-lak. Alhasil, Nyai Dasima berontak ingin melepaskan diri dari tuan Edward dan lari mencari Samiun. Cerita nyata ini dianggap sangat penting oleh oarang-orang pada zamannya seperti G. Francis yang menulis cerita sejarah ini dan Jacobus Anthonie Meessen sebagai oarng yang pernah memoto rumah Edward W. Cerita ini sudah sering dipubikasikan baik berbentuk , novel, film, cerita bersambung, teater dll. Namun masih tetap relevan sebagai sumber sejarah karena spasial, temporal dan objeknya sangat jelas dan ada bukti.

Comments

Popular Posts