Polarisasi Ekonomi Berdampak Polarisasi Sosial (Desa Ngablak pada Tahun 1869 dan 1929 ; Sebuah Perbandingan)


              Berbicara mengenai sejarah, tidak lepas dari pembicaraan mengenai perubahan. Jika pada masa Yunani Kuno sejarah masih dimaknai sebagai wawancara, inkuiry dan laporan-laporan, pada masa pertengahan sejarah dimaknai sebagai vitae maupun biografi maka pada masa sekarang ini sejarah dapat dimaknai sebagai perubahan-perubahan yang bisa dilihat dari kajian masa lampau. Telah terjadi perubahan yang signifikan terhadap pemaknaan terhadap istilah sejarah. Sejarah akademis dimaknai kian baiknya sehingga bermaanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Dimana sejarah itu bertujuan untuk memperkirakan masa depan berdasarkan gejala-gejala yang pernah terjadi sebelumnya, karena sesungguhnya semua hal yang ada didunia ini terjadi sangat teratur baik alam fisik maupun struktur sosial masyarakat. Oleh karena itu ada istilah “sejarah berulang”. Berulang secara obyektif, gejala-gejala yang pernah terjadi datang kembali karena sebab-musebab yang sama. Ketika gejala-gejala yang sama datang kembali baiklah manusia harus belajar dari sejarah, karena sejarah adalah pengalaman dan pengalaman adalah guru yang mulia.
            Seperti yang dipaparkan oleh Taufik Abdullah dalam buku “Sejarah Lokal di Indonesia” yang dieditorinya sendiri. Taufik Abdullah mengambil contoh kasus yang berjudul Desa Ngablak (Kabupaten Pati) dalan Tahun 1869 dan 1929. Contoh kasus ini ditulis oleh D.H Burger dalam majalah Koloniale studien (1933).
            Tulisan Burger ini membandingkan Desa Ngablak dalam tahun 1869 dan Desa Ngablak  tahun 1929. Dalam kurun waktu 60 tahun itu ada banyak hal yang terjadi dan mengakibatkan perubahan-perubahan di Desa Ngablak. Keputusan-keputusan maupun kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemeritah Hindia-Belanda ini berdampak bagi mobilitas sosial-masyarakat setempat. Perubahan-perubahan tersebut bisa berdampak positif dan bisa juga berdampak negatif.
            Mata pencaharian di Nusantara adalah mayoritas bertani atau agraris, begitu juga dengan di Desa Ngablak. Alam adalah tumpuan hidup mereka. Rasa-rasanya tidak ada yang menarik dari desa ini, bukan tempat pelabuhan, perdagangan, tidak strategis. Namun, ketersedian sumber primer (arsip) yang dituliskan oleh Burger menjadi jejak bahwa Desa Ngablak pernah ada dan eksis. Walau hanya untuk keperluan oknum tertetu, Namun penelitian yang pernah dilakukan Burger ini ternyata berguna. Kegunaannya adalah melihat perbandingan dan perubahan Desa Ngablak selama 60 tahun. Tentu saja yang menjadi persoalan penting adalah gejala-gejala yang terjadi sehingga dapat membentuk wajah Desa Ngablak seperti pada tahun 1929 itu.
            Mungkin kita masih ingat bahwa komoditas gula pernah menjadi ‘Primadona ekspor’ di Indonesia pada masa itu. Usaha penanaman tebu untuk pasaran dunia dilakukan secara besar-besaran. Bagi masyarakat, pertanian terutama di Desa Ngablak mempunyai pengaruh yang sangat besar. Terlebih lagi jika diperhatikan, bahwa lahan persawahan di Jawa umumnya dan khususnya di Desa Ngablak baik untuk penanaman tebu. Akibatnya adalah sistem penggunaan tanah ulayat atau komunal semakin melemah artinya ikatan adat otomatis ikut melemah. Sedangkan pemilikan tanah pribadi semakin kuat. Hal ini terjadi karena semakin banyaknya jumlah penyewa atau buruh tani yang menyewa atau mengerjakan tanah milik orang lain. Sedangkan penyewa-penyewa ini tunduk kepada pemilik tanah (perseorangan). Sistem kerja komunal di tanah ulayat mulai ditinggalkan, karena pada awalnya petani-petani di Desa Ngablak ini tidak terlalu suka mengerjakan lahannya sendiri, cenderung lebih menyewakan tanahnya kemudian berbagi hasil. Terkadang bisa juga dihibahkan kemudian ia bekerja sebagai buruh upahan di lahan orang lain. Mungkin dengan mengadakan sistem bagi hasil, sipemilik tanah bisa bekerja di tanah orang lain kemudian mendapatkan bagi hasil juga. Perputaran balas jasanya semakin cepat. Sistem komersialisasi tenaga kerja maupun sewa tanah semakin meruncing. Dimana pabrik gula sangat membutuhkannya. Kebiasaan ekonomi tertutup atau ekonomi tanpa uang (tradisional) di Desa Ngablak yang tidak pernah memperhitungkan mencari uang semakin memudar. Sistem kapitalis mulai diperkenalkan. Rakyat semakin bingung dengan sistem yang seolah-oleh berjalan dengan alami namun nyatanya sangat dipaksakan oleh para pengusaha-pegusaha kapuk, tebu, gula dll. Biasanya hidup tolong menolong, bergotong royong adalah sifat masyarakat Ngablak untuk memenuhi keperluan bersama, dengan datangnya masyarakat Barat dan Timur Asing ini, masyarakat dipaksa untuk hidup mandiri dan individualis. Bekerja untuk kalangan sendiri maupun kelompok tertentu merupakan sesuatu yang asing. Sistem yang tidak masyarakat ketahui membuat pengusaha semakin merajalela. akibatnya monopoli perdagangan. Maka semakin terlihatlah jurang yang dalam antara si kaya dan si miskin. Dimana si kaya adalah para penguasa/pembuat kebijakan/timur Asing, sedangkan si miskin adalah pribumi yang dipaksa untuk turut serta dalam kebijakan penguasa dengan tenaga kerja semakin murah. Semakin miskin lagi dimana daerah Desa Ngablak sudah dikuasai, sistem membuat mereka tidak lagi memiliki tanah pribadi.
Dari kontak pribumi dengan Eropa maupun Timur Asing ini selama berpuluh-puluh tahun hidup ditanah yang sama tentu menghasilkan kesepakatan-kesepakan bersama. Terlebih lagi orang-orang Eropa mengambil alih wewenang bangsawan membuat mereka bertindak sebagai ‘penguasa’. Seperti yang dirumuskan oleh Miriam Bidiardjo bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku sesorang atas sekelompok orang sedemikian rupa, sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu (Budiardjo, 1996: 35). Begitu juga dengan Pemerintah Hindia Belanda mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat Desa Ngablak yang notabene adalah feudal memiliki ikatan patron-client yang kuat terhadapa raja. Setelah Hindia Belanda mempunyai visi-misi di Desa Ngablak, mereka mulai membuat atura maupun kebijakan-kebijakan yang baru guna untuk menyukseskan misi mereka. Mulai dari pengurangan hak dan kewajiban raja-raja, sistem upah yang membuat masyarakat semakin mandiri, tidak terikat dengan raja lagi. Sifat feodalisme semakin rapuh, bahkan menghilang. Dengan itu Belanda bebas mengambil penduduk sebagai tenaga kerjanya, semakin banyak menguasai penduduk berarti mempunyai banyak tenaga kerja.
Diatas itu semua, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh Hindia-Belanda membuat semakin beragamnya tatanan kehidupan masyarakat Ngablak, struktur masyarakatnya semakin beragam. Untuk menyukseskan misi Hindia-Belanda, mereka kerap melakukan pembangunan-pembagunan infrastruktur yang baru seperti jalan raya, rel kereta api, pabrik gula, pabrik kapuk, pusat administrasi desa sehingga penghasilan masyarakat semakin heterogen. Seperti yang tertulis pada hal 194 buku Taufik ini, tertulis: yang dikenakan kewajiban membayar pajak penghasilan dalam tahun 1928 adalah: (1) 1 orang mandor pabrik gula, (2) 2 orang pandai emas, (3) 7 orang tukang jahit, (4) 2 orang tukang kayu, (4) 1 orang tukang dobi, (6) 24 orang tukang warung, (7) 5 orang pedagang lain, (8) 5 orang yang mempersewakan 6 buah pedati, (9) 8 orang yang mempersewakan sejumlah 13 bendi, (10) 3 oarng guru sekolah desa. Kemudian susunan pemerintahan desa dalam tahun 1869 dan tahun 1929:    

1869
1929
 petinggi
1
1
Kamitua (wakil atau pengganti lurah)
1
3
Carik (juru tulis desa)
1
1
Kepetengan (polisi desa)
-
3
Kebayan (pesuruh desa)
3
5
Modin (kaum / ulama)
1
2
merbot
1
-
jumlah
8
15

Semakin beragam pekerjaan di Desa ini, walau pada awalnya bertujuan untuk kepentingan penguasa. Namun dipastikan bahwa polarisasi ekonomi atau keputusan-keputusan yang berorientasi kepada kepentingan ekonomi berdampak pada polarisasi sosial. Dan hal ini tidak terjadi secara tiba-tiba seperti halnya di Desa Ngablak ini baru dapat terlihat gejala-gejala perobahnnya setelah 60 tahun, baru sekarang ini terlihat sangat jelas bagaimana polarisasi ekonomi berakibat pada polarisasi sosial. Polarisasi sosial yang terjadi bisa seperti kesenjangan sosial atau pembagian kelas. Menurut Rahmat Susatya Dosen UNPAD dalam jurnalnya yang berjudul Penguasaan Tanah dan Ketenagakerjaan di Keresidenan Semarang Pada Masa Kolonial  mengatakan bahwa “adanya kesenjangan yang cukup tajam dalam aspek distribusi pendapatan, karena tingkat pendapatan petani di desa ini berkaitan erat dengan penguasaan luas tanah pertanian. Dihubungkan dengan perkembangan distribusi luas penguasaan tanah pertanian sejak tahun 1960, kesenjangan tersebut menjelaskan bahwa masyarakat petani setempat sedang berlangsung proses polarisasi ekonomi. Atau kecenderungan timbulnya masyarakat menjadi dua golongan
ekonomi yang semula berbeda, dan akhirnya kepentingannya berlawanan; yaitu golongan miskin dan golongan kaya”.

Iska Rianty Purba

Comments

Popular Posts