MUTASI GURU DAN PRAKTIK PUNGLI
Belakangan ini saya sering
berhadapan dengan dunia pendidikan. Pendidikan sekolah dasar. Ayah dan ibu saya
adalah seorang guru. Setiap hari mendengarkan cerita soal lingukungan sekolah,
rekan-rekan guru, dan juga atasan mereka (pengawas, penilik, Dikjar, UPTD)
bahkan tidak jarang menyeret-menyeret nama Bupati maupun Camat terkait dengan
program-program kerja mereka. Maklum obrolan seusai makan malam, melebar
kemana-mana.
Tidak terkecuali belakangan
ini, kepala-kepala sekolah di Kecamatan DP, Kabupaten S dihebohkan dengan kabar
Mutasi Kepsek. Santer, berita ini menjadi sangat ramai di perbincangkan
oleh guru-guru bahkan banyak orang yang sedikit-banyak mengerti soal mutasi-mutasi
tersebut.
Kenapa berita ini harus
menyebar begitu kian luasnya? semacam ada magnet dalam cerita ini, menarik
untuk di perbincangkan. Bukankah mutasi baik untuk meningkatkan mutu
pendidikan? kenapa penolakan para kepsek begitu getolnya?
Diskusi-diskusi para kepsek dan
perbincangan para guru sering terlihat.
Ternyata ada beberapa alasan yang menyebabkan
berita ini sangat di gemari oleh masyarakat sekitar sekaligus menjadi alasan
penolakan para kepsek. Pertama, Mutasi tersebut memerlukan dana. Mutasi maupun
tidak, tetap di minta biaya. Biayanya tidak tanggung-tanggung. Mutasi Kepsek
dari SD kecil ke SD besar diminta biaya 20 juta rupiah. Mutasi Kepsek dari SD
besar ke SD kecil dikenakan biaya 15 juta rupiah. Menetap maupun tidak mau
pindah wajib membayar 30 juta rupiah. Ckckckckck
Sungguh terlalu. Mendengar
rincian ini saya sempet heran. Bagaimana pemerintah dapat memberlakukan sistem
seperti ini kepada guru? Apalagi guru di perkampungan? Rata-rata dalam satu
keluarga guru hanya 1 guru, suami atau istri, sedangkan satunya lagi bekerja
sebagai petani atau wiraswasta lain. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa gaji PNS
sangat minim. Apalagi guru, guru diperkampungan pula. Jangankan membayar 15
juta, ke sekolah yang jaraknya 5 km saja jalan kaki. Tidak berniat menghamburkan
uang untuk membeli motor, lebih baik ditabung untuk biaya sekolah/kuliah anak.
Hal seperti ini masih menjadi pemandangan lumrah di Kecamatan itu.
Persoalan ini kian hari kian
pelik, urus campur masyarakat biasa seperti saya membuat masalah ini terkadang
semakin pelik dan complicated. Sikap
interaksi social yang tinggi membuat mutasi ini kian mudah untuk di tolak.
Desa-desa di kabupaten ini
sangat berdekatan. Setiap guru sangat mengenal satu sama lain. Jika Kepsek SD A
dimutasi ke SD B maka kepsek SD A maupun B akan menolak, dimana setiap kepsek
sudah betah di sekolah tersebut dan rata-rata akan pensiun dalam kurun waktu
max 2-5 tahun ke depan. Terlebih lagi adalah jarak rumah dan sekolah mereka
tidak terlali jauh. Jika mutasi membuat jarak antara rumah dan sekolah semakin
jauh, mending berhenti menjadi guru. Ingat ini adalah perkampungan. Mobil
angkutan hanya ada 1 dalam 20 menit. Dan tidak semua rute di lewati oleh mobil
angkutan. Sekali lagi ini adalah PERKAMPUNGAN. Mutasi dengan alasan
meningkatkan sistem pendidikan seperti ini perlu ditinjau ulang.
Kenapa
repot-repot membicarakan tetntang bagaimana jika mutasi tersebut harus
diberlakukan? Bukankah sedari awal keputusan dari pejabat terhormat ini tidak
seharusnya di gubris? Mau mutasi bayar 15-20 juta, tetap atau tidak pindah
bayar 30 juta. Tidak mau bayar akan dikembalikan jadi guru maupun atau non job. Pilihannya ada-ada saja ya.
Tercium sudah bau Gayus dan Artalitanya.
Sumpah gelii banget pejabat-pejabat ini!
gggrrrrrr
==============================*=============================
Bagaimana kalau sikap korupsi
sudah ada tepat di depan jidatmu? Di tengah Negara yang kian sibuk mengurusi
soal korupsi, tetapi dia malah berencana melakukan korupsi secara
terang-terangan. Terang-terang menganggab sekelilingnya bodoh. Ah, ini seperti
sedang menangkap nyamuk, gampang2 susah tetapi pasti tertangkap! Gk ingat
neraka ataupun dosa turunan kali ya. Kesel tingkat dewa. Oaaalaaahhhhh
Comments
Post a Comment