Tanggapan pribadi mengenai artikel Ahok Wagub DKI yang marah-marah ketika merayakan Paskah 2014 dilingkungan Pemkot DKI


Dulu, ketika masih aktif di organisasi keagamaan di kampus, kami pernah terjebak dengan pengertian dan pemaknaan sebuah perayaan. Seabagai pengurus, kita ingin memberikan yang terbaik yang bisa kita lakukan karena di situlah letak pelayanan yang sejati. Percaya bahwa upaya yang diniatkan maksimal pasti akan membuahkan hasil yang maksimal juga. Taruhannya adalah perayaan yang istimewa yang tidak pernah terlupakan oleh peserta.

Ada dua perayaan yang sering dirayakan oleh organisasi keagamaan tiap tahunnya yaitu perayaan Natal dan Paskah.
Saat itu, kami masih Maba (Mahasiwa baru). Memasuki bulan desember 2007 kami semakin disibukkan dengan persiapan-persiapan Natal, mulai dari danus, dekorasi hingga aksi panggung. Semarak di fakultas lain juga sama. Berlomba untuk mempertontonkan perayaan yang paling istimewa, berbeda dan berkelas. Dekorasi ruangan yang tertata, kursi yang ditutupi kain putih, meja bulat, buket-buket besar, jas, gaun, patofel, high heels dan aksesoris mewah lainnya. Bagi yang sudah terbiasa dengan perayaan mewah seperti itu mungkin hal yang wajar dan biasa, sedangkan bagi yang tidak terbiasa mungkin kemewahan adalah sebuah pencapain. Tidak ada yang salah disana, kami hanya sudah terbiasa dengan arti dari perayaan itu sendiri. Melupakan apa yang terpenting dari perayaan itu sendiri yaitu kesederhanaan dan kehangatan menjadi kemewahan dan kemeriahan.

Hingga pada akhirnya terdengar bisik-bisik tidak mengenakkan dari pengamat-pengamat kampus yang sering kami sebut sebagai Tua-Tua Sastra (kebetulan saya dari Fak Sastra). Bahwa perayaan Natal sudah semakin melenceng dari yang seharusnya. Mahasiswa kristen semakin ekskulisive, tidak ramah kepada sekitar. Mengatasnamakan “kebersamaan” sebagai alat untuk bersama-sama yang mengakibatkan komunitas semakin ekslusive. Hanya mementingkan kepentingan komunitas. Tidak ada yang dipersalahkan karena panitia-panitia biasanya adalah mahasiswa baru yang ingin menjajal dunia organisasi kampus. Kita mengatakan bahwa “kita hanya meneruskan apa yang sudah pernah ada dan berusaha sebaik mungkin.” Itu kami.

Sehingga timbul ide-ide untuk mengembalikan makna ke yang sesungguhnya.
Muncul gagasan untuk mengahapuskan acara-acara yang bersifat perayaan rutin seperti Natal maupun Paskah. Dinilai tidak cukup memberikan efek signifikan bagi kemajuan mahasiswa terhadap kepedulian kepada sesama dan sekitar. Kita hanya berbuat bagi komunitas kita saja, namun tidak memberikan pengaruh kepada sekitar. Bukannya tidak mau, tetapi terjebak di perayaan rutinitas turun temurun.
Hingga pada akhirya kami memutuskan untuk tidak membuat perayaan-perayaan yang serba ‘wah’ lagi, namun perayaan yang bersifat berbagi. Natal dan paskah yang kecil-kecilan, tidak ada gaun hanya baju rapi kemudian program-program yang sifatnya berbagi seperti membagikan alat-alat sekolah kepada anak-anak pedagang asongan di sekitar kampus, kunjungan ke Panti Jompo, Panti Asuhan. Ada pola pikir yang diubahkan disana. Banyak yang pro dan banyak juga yang kontra. Dengan bantuan para senior-senior (TTS) kami dibantu untuk memahami kekristenan. Bahwa sebagai pengikut Kristus kita tidak pernah diajar untuk menolong hanya sesama agama saja. Kita diajarkan untuk menolong siapapun yang ada disekitar kita. Kasih kepada Bapa dan kasih kepada sesama manusia adalah yang terutama.
Bukannya untuk mengatakan bahwa kami sok-sok baik atau apalah.


Sama dengan apa yang sebagian orang pikir mengenai perkataan Wagub DKI di perayaan Paskah di lingkungan Pemkot DKI. Ketika kita benar-benar bekerja untuk kebaikan orang banyak, agak sulit rasanya untuk duduk manis diperayaan yang serba mewah. Ada yang berteriak meronta-ronta dari lubuk yang paling dalam mengigat kemegahan dan kekumuhan disaat yang bersamaan. Rasanya panas, dada berdegub kencang seolah ada yang ingin ditumpahkan. Pasti diantara kita ada yang mengatakan: “sok sekali and!a” tetapi percayalah, itu yang dirasakan seseorang yang ingin benar-benar melayani. Setidaknya dana yang ada harus tepat sasaran. Terkadang, harus memakai uang pribadi dengan alasan supaya cepat, mau mengorbankan sedikit dari yang banyak kita miliki. Tetapikan setiap manusia beda-beda apalagi mereka di Pemkot punya pos dananya sendiri. Balik lagi ke diri dan komunitasnya masing-masing mau ekslusive atau inklusive?

Comments

Popular Posts